Artikel – matatimorpo.com –
Oleh: [ Rhey Natonis ]
Pegiat Media
Media sosial kerap kali menjadi kambing hitam dari berbagai masalah sosial modern: kecanduan digital, penyebaran hoaks, degradasi moral, hingga menurunnya kesehatan mental generasi muda. Label “toxic” pun melekat pada platform-platform seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan Facebook. Tapi benarkah kesalahan sepenuhnya ada pada media sosial? Atau, jangan-jangan, masalah sebenarnya justru terletak pada cara kita menggunakannya?
Saya berpendapat, media sosial bukan media sial. Ia hanyalah alat. Dan seperti semua alat dalam sejarah manusia api, pisau, kendaraan bermotor dampaknya tergantung sepenuhnya pada siapa yang memegangnya dan bagaimana ia digunakan.
Sering kali kita terjebak pada narasi yang menyalahkan teknologi, padahal akar persoalan ada pada ketidaksiapan kita secara mental dan moral dalam menghadapinya. Kita hidup di era di mana informasi berlimpah, tetapi kemampuan menyaringnya rendah. Kita ingin eksis, tetapi lupa bagaimana menjadi autentik. Kita mengejar viral, tetapi melupakan nilai.
Media sosial bukan penyebab perpecahan atau kebencian; ia hanya mempercepat apa yang memang sudah ada dalam masyarakat. Jika ruang digital kita dipenuhi ujaran kebencian, bisa jadi itu adalah pantulan dari ruang nyata yang belum selesai berdamai dengan perbedaan.
Ironisnya, di tengah segala kritik terhadap media sosial, kita sering lupa bahwa ia telah membuka pintu bagi perubahan yang sebelumnya mustahil. Gerakan sosial, dukungan kemanusiaan, pendidikan alternatif, bahkan kebangkitan ekonomi rakyat kecil, semuanya tumbuh dan menyebar lewat media sosial.
Di sisi lain, tak sedikit orang yang menemukan ruang berekspresi, identitas, dan komunitas yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata. Media sosial menjadi ruang aman bagi mereka yang selama ini tak memiliki suara. Apakah ini layak disebut “sial”?
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan platform, dan mulai bercermin pada cara kita menggunakannya. Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan juga soal etik dan empati. Jangan hanya bisa membagikan konten, tapi juga harus mampu berpikir kritis terhadapnya. Jangan hanya bisa mengejar like, tapi juga sadar akan dampak dari tiap kata yang kita lempar ke ruang publik.
Menggunakan media sosial secara bijak berarti tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus keluar sejenak. Menjaga kesehatan digital sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Sama-sama butuh disiplin.
Banyak orang Menyebut media sosial sebagai biang kerok dari segala persoalan modern sama saja seperti menyalahkan cermin karena pantulannya tidak kita suka. Media sosial bukan media sial. Yang bisa membuatnya “sial” atau “berkah” adalah kita, para penggunanya.
Teknologi hanya akan sebaik nilai yang dibawa oleh manusianya. Maka jika kita ingin ruang digital yang sehat, edukatif, dan manusiawi kita harus mulai dari diri sendiri. Karena pada akhirnya, kendali penuh atas jempol kita, ya… tetap ada di kita sendiri. Salam Akal Sehat