TTS, MataTimorpos.com|| Ketua Tim Pengabdian Masyarakat skema Bottom-Up LPPM Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ira Adriati, M.Sn, bersama timnya, selama empat hari melakukan eksplorasi mendalam di sejumlah wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Desa Boti, Ayotupas, dan Bonle’u menjadi tujuan utama dalam rangka penelitian, pendampingan kerajinan tenun, pemetaan potensi pariwisata, serta pelatihan pemasaran digital.
Kepada awak media, Rabu (19/11/2025), di Kantor Dinas Pariwisata TTS, Dr. Ira Adriati menjelaskan bahwa pengabdian masyarakat merupakan kewajiban setiap dosen ITB.
Namun ia secara khusus memilih TTS karena potensi budaya dan alamnya yang unik dan belum banyak terekspos.
“Sebetulnya kegiatan pengabdian pada masyarakat itu wajib bagi setiap dosen. Saya memilih Timor Tengah Selatan karena orang biasanya lebih mengenal Sumba, padahal TTS memiliki potensi yang sangat besar,” ujarnya.
Selama di lapangan, tim ITB mendalami kekayaan kerajinan tenun, adat istiadat, serta peluang pengembangan pariwisata berbasis budaya dan alam.
Di Desa Boti, Dr. Ira Adriati,menyerahkan buku tentang tenun Boti sekaligus mempelajari lebih dekat kerajinan masyarakat adat. Ia menilai tenun dari tiga wilayah besar TTS Amanuban, Amanatun, dan Mollo memiliki motif dan karakter yang berbeda, dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai identitas wisata budaya.
“Potensi pariwisata di tiga kawasan yang kami kunjungi sangat besar. Hanya saja akses transportasinya harus diperhatikan. Tanpa mobil 4×4, kami tidak berani masuk, bahkan beberapa kali hampir mundur,” ungkapnya.
Di Desa Bonle’u, tim ITB memberikan pelatihan khusus kepada ibu-ibu PKK mengenai diversifikasi produk olahan tenun.
Selama ini masyarakat fokus membuat kain atau selimut besar yang memerlukan waktu lama dan berharga tinggi.
ITB mengajarkan cara membuat produk kecil bernilai ekonomis, seperti:gelang tenun, gantungan kunci, bros/peniti tenun, kalung, aksesori kecil ukuran 5 cm.
Produk dengan harga Rp15.000 – Rp25.000 ini lebih mudah dipasarkan dan dapat meningkatkan pendapatan perempuan desa.
“Kami sudah uji coba di Jakarta dan kerajinan kecil seperti itu banyak peminatnya. Artinya, diversifikasi produk itu penting untuk meningkatkan penghasilan perempuan di desa,” jelas Dr. Ira.
Untuk mendukung pemasaran digital, tim ITB juga memberikan pelatihan penggunaan Instagram serta menyerahkan 1 unit mesin jahit untuk desain produk dan 1 unit handphone yang dikelola oleh ibu Kepala Desa Bonle’u. Tak hanya itu, buku-buku bacaan ikut disumbangkan untuk meningkatkan literasi anak-anak.
Dr. Ira Adriati mengungkapkan bahwa program pengabdian ITB menjangkau desa-desa melalui aplikasi DesaNesha, yang dapat diakses oleh seluruh kepala desa.
Dari seluruh wilayah yang dipantau, Desa Bonle’u menjadi desa paling aktif dan merupakan yang pertama di TTS mendaftarkan diri.
Saya sendiri belum pernah melihat peta Bonle’u sebelumnya, tapi kepala desa sangat cepat mendaftarkan desa mereka. Itu menunjukkan kesadaran dan kesiapan aparat desa,” tuturnya.
Dr. Ira Adriati berharap kunjungan ini dapat ditindaklanjuti tahun depan dengan program yang lebih besar, di antaranya:pemetaan pariwisata Desa Bonle’u secara lengkap, pengembangan paket wisata online, penguatan dokumentasi budaya dan kerajinan, penataan promosi terintegrasi antara desa, pemerintah daerah, dan pelaku UMKM.
Menurutnya, bentang alam Boti, Ayotupas, dan Bonle’u memiliki daya tarik visual yang sangat kuat, mulai dari rumah bulat, budaya tenun, hamparan bukit, hingga panorama gunung.
“Akses jalan itu harus jadi perhatian utama. Pemandangannya indah, sangat natural, cocok untuk wisata relaksasi, tapi transportasinya masih sulit,” tegasnya.
Dr. Ira Adriati menekankan bahwa budaya tenun dan potensi wisata TTS telah ada sejak nenek moyang. Yang kini diperlukan adalah kerja bersama antara Pemerintah Desa, Dinas Pariwisata, dan Pemerintah Kabupaten TTS agar potensi tersebut bisa dikemas lebih menarik.
“Potensi itu sudah ada turun-temurun. Tinggal dipublikasikan dan dikemas agar menarik bagi wisatawan lokal maupun internasional,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) melalui Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata, Milda S. Ch. Nenobais, S.Pi., M.Si, memberikan apresiasi tinggi atas kunjungan Dr. Ira Adriati, M.Sn, dan tim ITB yang selama beberapa hari meneliti serta mendampingi masyarakat di sejumlah desa, termasuk Boti, Ayotupas, dan Bonle’u.
Milda S. Ch. Nenobais, S.Pi., M.Si, menyebut kehadiran tim ITB membawa angin segar bagi upaya promosi budaya dan pengembangan sektor pariwisata TTS.
“Kami sangat mengapresiasi kedatangan Ibu Ira dan tim ITB. Beliau sudah empat tahun konsisten memberi perhatian kepada TTS, khususnya budaya dan potensi wisata di wilayah selatan,” ujar Kabid Milda.
Dia menjelaskan bahwa Dinas Pariwisata masih sering menghadapi kendala dalam mempromosikan potensi wisata karena keterbatasan komunikasi dan akses informasi. Kehadiran ITB, menurutnya, membantu memperluas publikasi potensi daerah.
“Dengan kehadiran Ibu Ira, kami berharap apa yang diteliti dan dilihat di lapangan dapat ikut dipromosikan keluar. Ini penting agar semakin banyak pihak yang peduli terhadap pariwisata TTS,” tambahnya.
Dirinya juga menegaskan bahwa pariwisata merupakan sektor penting yang berpotensi meningkatkan pendapatan daerah. Namun, beberapa objek wisata masih berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan, sehingga membutuhkan koordinasi lebih lanjut.
“Kami sedang dorong pembicaraan dengan kementerian agar pengelolaan wisata bisa lebih terbuka bagi daerah. Jika itu terlaksana, kami optimis pariwisata TTS akan berkembang lebih baik,” katanya.
Ia juga berharap besar agar kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga pendidikan seperti ITB dapat terus berjalan.
“Potensi alam, budaya, dan religi TTS sangat besar. Jika dikelola baik, wisatawan akan betah tinggal lebih lama dan ekonomi masyarakat pasti meningkat,” ujarnya.















